Munculnya Kerajaan Mataram berawal dari janji Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), yang akan memberikan hadiah berupa tanah di bumi Mataram kepada Ki Ageng Pamanahan. Hadiah itu diberikan karena Ki Ageng Pamanahan berhasil mengalahkan musuh dari Jaka Tingkir, yaitu Arya Penangsang. Pada awalnya, Jaka Tingkir lupa akan janjinya tersebut, sehingga Sunan Kalijaga berusaha mengingatkannya dan akhirnya, janji itupun dipenuhi oleh jaka tingkir.

Ki Ageng Pamanahan merupakan pendiri kota cikal-bakal kerajaan Mataram. Ki Ageng Pamanahan kemudian mendapatkan gelar Kyai Gedhe atau Ki Ageng Mataram. Hal tersebut dilakukan untuk legitimasi kekuasaannya terhadap tanah Mataram. Gelar Kiyai dalam agama Islam merupakan gelar untuk orang yang mempunyai ilmu tinggi dan dihormati, sedangkan gelar Ki Ageng Mataram menandakan bahwa dia merupakan orang “besar” atau “mulia” di tanah Mataram. Selain itu, untuk semakin memperkuat pengaruhnya di bumi Mataram, dituliskan dalam sumber-sumber jawa kuno bahwa Ki Ageng Pamanahan merupakan keturunan dari raja terakhir kerajaan Majapahit.
Walaupun dia merupakan orang yang membuka tanah Mataram, tetapi dia tidak dianggap sebagai raja pertama dari kerajaan Mataram. Hal tersebut dikarenakan pada waktu dia berkuasa, Mataram masih merupakan kerajaan vasal dari Kerajaan Pajang. Oleh karenanya, gelar yang dipakai oleh penguasanya bukan gelar yang menunjukan raja atau penguasa.

Setelah Ki Ageng Pamanahan meninggal dunia, putranya, yaitu Panembahan Senapati Ing Alaga, menggantikannya berkuasa di tanah Mataram. Pada masanya itu, dia berusaha untuk melepaskan diri dari kekuasaan Pajang. Kemudian dia melakukan “tapa brata” dan “semedi” di daerah Lipura di atas sebuah batu yang bernama Sela Gilang. Di sana, dia mendapatkan pulung yang meramalkan masa kejayaan Kerajaan Mataram dan keruntuhannya nanti di masa pemerintahan Amangkurat I (cicit Panembahan Senapati).
Selain itu, disebutkan juga bahwa Panembahan Senapati meminta dukungan kepada Dewi Laut Selatan (Kanjeng Ratu Kidul) untuk menjadi pelindung kerajaan Mataram. Panembahan Senapati disebutkan telah melewatkan waktu selama tiga hari di kerajaan bawah laut Kanjeng Ratu Kidul, dengan begitu, Kanjeng Ratu Kidul akan mengabdi kepada Panembahan Senapati dan keturunannya dan dia juga menjanjikan dukungan pasukan roh halusnya untuk membantu Mataram. Cerita seperti itu bukan hanya ada di Mataram saja, akan tetapi hampir di semua kerajaan di Pulau Jawa.

Selain itu, Panembahan Senapati juga menggunakan agama Islam sebagai legitimasi kekuasannya. Dia dekat dengan Sunan Kalijaga dan sangat mempercayai nasehat-nasehatnya. Perasaan percaya Panembahan Senapati terhadap Kanjeng Ratu Kidul dan Sunan Kalijaga secara halus mencerminkan ambivalensi bangsa Mataram terhadap agama Islam dan kepercayaan Jawa asli.

Sekitar tahun 1587-1588, Panembahan Senapati berhasil menaklukan Pajang dan mengambil alih pusaka keramat kerajaan yang berupa simbol-simbol dan hiasan-hiasan supranatural. Pusaka-pusaka tersebut merupakan salah satu alat legitimasi kekuasaan yang cukup efektif pada masa itu.

Setelah Panembahan Senapati meninggal, putranya yang bernama Panembahan Seda Ing Krapyak (Raden Mas Jolang) menggantikan kedudukannya sebagai raja. Sama seperti pendahulunya, Panembahan Senapati, Panembahan Seda Ing Krapyak juga dikatakan berhubungan dengan Kanjeng Ratu Kidul dan menggunakan pusaka sebagai alat legitimasi kekuasaannya. Selain itu, dalam hal agama Islam dia berusaha untuk menjalani kehidupan sebagai seorang santri di Kudus. Hal tersebut dilakukan agar imagenya sebagai seorang muslim semakin kuat dan sekaligus untuk mengklaim daerah Kudus yang dianggap kota suci merupakan wilayah kekuasaan Mataram.

Pengganti Panembahan Seda Ing Krapyak adalah Sultan Agung. Pada masa ini Mataram mencapai masa puncak kejayaannya. Pada awal masa pemerintahannya, Sultan Agung belum manggunakan gelar “sultan”. Gelar yang pertama di pakai adalah gelar “pangeran” atau “panembahan”. Setelah tahun 1624 gelarnya berubah menjadi susuhunan atau disingkat dengan sunan. Gelar tersebut biasanya diberikan pada para wali. Dengan begitu kita bisa menyimpulkan bahwa Sultan Agung berupaya untuk menggunakan gelar sunan untuk memeperkokoh kekuasannya sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulunya. Akan tetapi, yang berbeda adalah gelar sunan lebih mengarah kepada seorang tokoh pemuka agama dibandingkan dengan gelar pangeran atau panembahan yang lebih mengarah kepada penguasa. Hal tersebut menandakan bahwa Sultan Agung memposisikan dirinya sebagai penguasa dan pemuka agama. Walaupun demikian, hubungan keluarga kerajaan dengan Kanjeng Ratu Kidul masih tetap bertahan.

Cerita lainnya mengenai usaha legitimasi kekuasaan terhadap Sultan Agung adalah adanya legenda yang menyatakan. bahwa Sultan Agung memperoleh kekuatan gaib dari arwah Sunan Bayat. Hal tersebut dilakukannya setelah dia kalah dari VOC di Batavia. Namun, kekalahannya dari VOC tersebut justru menghancurkan mitos bahwa kerajaan Mataram merupakan kerajaan yang tak terkalahkan.
Setelah Sultan Agung meninggal, tampuk kekuasaan berpindah ke tangan Susuhunan

Amangkurat I. pada masa kekuasaannya, dia mengucilkan orang-orang kuat yang dianggap membahayakan pemerintahannya. Sehingga perbuatannya itu banyak tidak disukai orang. Mulai dari Amangkurat I hingga masa pemerintahan Pakubuwana III politik menjadi alat legitimasi kekuasaan. Para penguasa berusaha saling menjatuhkan saingannya, walaupun masih ada hubungan darah. Pada masa amangkurat I kondisi Mataram sudah menurun dan puncaknya pada masa pemerintahan Pakubuwana III terjadi perjanjian Gianti yang membagi wilayah kekuasaan Mataram menjadi 3 bagian. Dengan begitu, maka berakhirlah kekuasaan kerajaan Mataram.

SILSILAH KERAJAAN MATARAM
Ki Ageng Pamanahan
Panembahan Senapati
Panembahan Seda Ing Krapyak (Raden Mas Jolang)
Sultan Agung
Amangkurat I
Amangkurat II
Amangkurat III
Pakubuwana I
Amangkurat IV
Pakubuwana II
Pakubuwana III


Daftar Sumber:
Ricklefs, M. C. 2005.
Sejarah Indonesia Moderen. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
http://www.geocities.com/iramsa/sejarah.htm
http://www.indosiar.com/v2/culture/culture_read.htm?id=26682

0 komentar: